KASUS HAK PEKERJA
Perselisihan antara Televisi Pendidikan Indonesia (TPI)
dengan Crown Capital Global Limited (CCGL) perihal putusan TPI pailit oleh
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat terus berkembang dilanjutkan munculnya
kekhawatiran pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan TPI oleh kurator pailit
TPI. Hal tersebut sangat berpengaruh pada hak karyawan yang dilindungi
Undang-Undang No. 13 Tahun 2004 Tentang Ketenagakerjaan.
Menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Syarat pailit adalah debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.
Undang-Undang tidak menentukan PHK sebagai akibat tunggal atas pailit. Oleh karena itu, putusan pailit tersebut memberikan dua kemungkinan alternatif bagi TPI. Pertama, meski telah dinyatakan pailit, kurator pailit TPI dapat tetap menjalankan kegiatan usahanya dengan konsekwensi tetap membayar biaya usaha seperti biaya listrik, telepon, biaya karyawan, pajak, dan biaya lainnya. Kedua, kurator pailit TPI berhak melakukan PHK dengan dasar pasal 165 UU Ketenagakerjaan.
Jika kurator pailit TPI tetap ingin melakukan kegiatan usahanya tanpa melakukan PHK, maka karyawan TPI tetap memiliki hak selayaknya karyawan pada umumnya. Hak karyawan yang telah dilindungi oleh UU Ketenagakerjaan seperti pengupahan, penempatan tenaga kerja, perlindungan, kesejahteraan, dan lain-lain. Putusan TPI pailit tidak mengurangi hak karyawan karena TPI tetap melakukan kegiatan usahanya meski dengan tumpuan kurator. Namun apabila TPI pailit kemudian telah disepakati bersama untuk melakukan PHK, maka kurator pailit TPI harus mematuhi pasal 165 UU Ketenagakerjaan yang berbunyi : “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)”.
Jika kurator pailit TPI memilih untuk melakukan PHK, maka ia harus memenuhi hak karyawan yang terlindungi dalam pasal 165 tersebut yaitu membayar uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan di atas.
Dalam hal pailit tersebut mengakibatkan TPI melakukan penutupan perusahaan (lock out) maka karyawan TPI berhak untuk merundingkannya dengan para pihak yang berselisih disertai arahan suatu instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan (pasal 149 UU Ketenagakerjaan). Jika perundingan tersebut malah mengakibatkan penolakan sebagian atau seluruh karyawan menjalankan pekerjaan, maka karyawan berhak menuntut atas dasar pasal 146 ayat (2) UU Ketenagakerjaan yang berbunyi : “Pengusaha tidak dibenarkan melakukan penutupan perusahaan (lock out) sebagai tindakan balasan sehubungan adanya tuntutan normatif dari pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh”.
Menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Syarat pailit adalah debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.
Undang-Undang tidak menentukan PHK sebagai akibat tunggal atas pailit. Oleh karena itu, putusan pailit tersebut memberikan dua kemungkinan alternatif bagi TPI. Pertama, meski telah dinyatakan pailit, kurator pailit TPI dapat tetap menjalankan kegiatan usahanya dengan konsekwensi tetap membayar biaya usaha seperti biaya listrik, telepon, biaya karyawan, pajak, dan biaya lainnya. Kedua, kurator pailit TPI berhak melakukan PHK dengan dasar pasal 165 UU Ketenagakerjaan.
Jika kurator pailit TPI tetap ingin melakukan kegiatan usahanya tanpa melakukan PHK, maka karyawan TPI tetap memiliki hak selayaknya karyawan pada umumnya. Hak karyawan yang telah dilindungi oleh UU Ketenagakerjaan seperti pengupahan, penempatan tenaga kerja, perlindungan, kesejahteraan, dan lain-lain. Putusan TPI pailit tidak mengurangi hak karyawan karena TPI tetap melakukan kegiatan usahanya meski dengan tumpuan kurator. Namun apabila TPI pailit kemudian telah disepakati bersama untuk melakukan PHK, maka kurator pailit TPI harus mematuhi pasal 165 UU Ketenagakerjaan yang berbunyi : “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4)”.
Jika kurator pailit TPI memilih untuk melakukan PHK, maka ia harus memenuhi hak karyawan yang terlindungi dalam pasal 165 tersebut yaitu membayar uang pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan di atas.
Dalam hal pailit tersebut mengakibatkan TPI melakukan penutupan perusahaan (lock out) maka karyawan TPI berhak untuk merundingkannya dengan para pihak yang berselisih disertai arahan suatu instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan (pasal 149 UU Ketenagakerjaan). Jika perundingan tersebut malah mengakibatkan penolakan sebagian atau seluruh karyawan menjalankan pekerjaan, maka karyawan berhak menuntut atas dasar pasal 146 ayat (2) UU Ketenagakerjaan yang berbunyi : “Pengusaha tidak dibenarkan melakukan penutupan perusahaan (lock out) sebagai tindakan balasan sehubungan adanya tuntutan normatif dari pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh”.
KASUS IKLAN YANG TIDAK ETIS
Di kisahkan beberapa orang (mewakili
operator telpon masing2) sebagai seorang saksi yang berhak bahwa dia sebagai
empunya pulsa paling murah, ketika jaksa bertanya siapa di antara kalian yang
mengaku paling murah, pertanyaan kepada para saksi
saksi pertama yang mirip Igo saykoji (IM3) menjawab, lalu yang
mirip Luna Maya (XL) keduanya disanggah oleh Hakim dan
terakhir si Desta (Axis) yg menyatakan Axis paling murah, dan
dia pemenangnya sebagai empunya Pulsa paling Murah dan keputusan ini di sahkan hakim ketua (budi anduk) dengan mengetuk Palu Hakim..
kesimpulannya :
1. Dengan
pengambilan setting di persidangan seakan membuktikan bahwa keputusan
pengadilan itu yang paling diakui masyarakat. (ini kreatif apalagi lagi rame
kasus cicak dan buaya, namun ini juga mengesankan kalau pengadilan itu guyonan)
2.Menampilkan Icon
dari kompetitor, selayaknya
tidak perlu dengan merendahkannya. Terdapat penampakan muka-muka culun icon
operator telpon kompetitor dari Axis (tidak etis)
3. Kenapa hanya im3
dan xl yang di tampilkan dalam iklan Axis
ini? telkomsel tidak ditampilkan dalam iklan tersebut. (tanda
tanya).
KASUS ETIKA PASAR BEBAS
Salah satu
kasus yang terjadi antar anggota WTO kasus antara Korea dan Indonesia, dimana
Korea menuduh Indonesia melakukan dumping woodfree copy paper ke Korsel sehingga
Indonesia mengalami kerugian yang cukup besar. Tuduhan tersebut menyebabkan
Pemerintah Korsel mengenakan bea masuk anti dumping (BMAD) sebesar 2,8 persen
hingga 8,22 persen terhitung 7 November 2003. dan akibat adanya tuduhan dumping
itu ekspor produk itu mengalami kerugian. Ekspor woodfree copy paper Indonesia
ke Korsel yang tahun 2002 mencapai 102 juta dolar AS, turun tahun 2003 menjadi
67 juta dolar.
Karenanya, Indonesia harus melakukan yang terbaik untuk menghadapi kasus dumping ini, kasus ini bermual ketika industri kertas Korea mengajukan petisi anti dumping terhadap 16 jenis produk kertas Indonesia antara lain yang tergolong dalam uncoated paper and paperboard used for writing dan printing or other grafic purpose produk kertas Indonesia kepada Korean Trade Commision (KTC) pada tanggal 30 september 2002 dan pada 9 mei 2003, KTC mengenai Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sementara dengan besaran untuk PT pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk sebesar 51,61%, PT Pindo Deli 11,65%, PT Indah Kiat 0,52%, April Pine dan lainnya sebesar 2,80%. Namun, pada 7 November 2003 KTC menurunkan BM anti dumping terhadap produk kertas Indonesia ke Korsel dengan ketentuan PT Pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk, PT Pindo Deli dan PT Indah Kiat diturunkan sebesar 8,22% dana untuk April Pine dan lainnya 2,80%. Dan Indonesia mengadukan masalah ini ke WTO tanggal 4 Juni 2004 dan meminta diadakan konsultasi bilateral, namun konsultasi yang dilakukan pada 7 Juli 2004 gagal mencapai kesepakatan.
Karenanya, Indonesia meminta Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) membentuk Panel dan setelah melalui proses-proses pemeriksaan, maka DSB WTO mengabulkan dan menyetujui gugatan Indonesia terhadap pelanggaran terhadap penentuan agreement on antidumping WTO dalam mengenakan tindakan antidumping terhadap produk kertas Indonesia. Panel DSB menilai Korea telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktek dumping produk kertas dari Indonesia dan bahwa Korea telah melakukan kesalahan dalam menentukan bahwa industri domestik Korea mengalami kerugian akibat praktek dumping dari produk kertas Indonesia.
Karenanya, Indonesia harus melakukan yang terbaik untuk menghadapi kasus dumping ini, kasus ini bermual ketika industri kertas Korea mengajukan petisi anti dumping terhadap 16 jenis produk kertas Indonesia antara lain yang tergolong dalam uncoated paper and paperboard used for writing dan printing or other grafic purpose produk kertas Indonesia kepada Korean Trade Commision (KTC) pada tanggal 30 september 2002 dan pada 9 mei 2003, KTC mengenai Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sementara dengan besaran untuk PT pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk sebesar 51,61%, PT Pindo Deli 11,65%, PT Indah Kiat 0,52%, April Pine dan lainnya sebesar 2,80%. Namun, pada 7 November 2003 KTC menurunkan BM anti dumping terhadap produk kertas Indonesia ke Korsel dengan ketentuan PT Pabrik kertas Tjiwi Kimia Tbk, PT Pindo Deli dan PT Indah Kiat diturunkan sebesar 8,22% dana untuk April Pine dan lainnya 2,80%. Dan Indonesia mengadukan masalah ini ke WTO tanggal 4 Juni 2004 dan meminta diadakan konsultasi bilateral, namun konsultasi yang dilakukan pada 7 Juli 2004 gagal mencapai kesepakatan.
Karenanya, Indonesia meminta Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) membentuk Panel dan setelah melalui proses-proses pemeriksaan, maka DSB WTO mengabulkan dan menyetujui gugatan Indonesia terhadap pelanggaran terhadap penentuan agreement on antidumping WTO dalam mengenakan tindakan antidumping terhadap produk kertas Indonesia. Panel DSB menilai Korea telah melakukan kesalahan dalam upaya membuktikan adanya praktek dumping produk kertas dari Indonesia dan bahwa Korea telah melakukan kesalahan dalam menentukan bahwa industri domestik Korea mengalami kerugian akibat praktek dumping dari produk kertas Indonesia.
KASUS WHISTLEBLOWING
Menjadi "whistleblower" dalam
kasus dugaan penggelapan solar bersubsidi di Bintan bukanlah pekerjaan yang
ringan, apalagi pemilik perusahaan yang tersangkut, cukup terkenal di Kepulauan
Riau. Mar adalah mantan karyawan PT
Gandasari Tetra Mandiri dan kini menyatakan siap membongkar kasus dugaan
penyelewengan ribuan ton solar bersubsidi yang dilakukan perusahaannya."Whistleblower"
per definisi adalah seseorang yang melaporkan perbuatan yang berindikasi tindak
pidana korupsi di dalam organisasi tempat yang bersangkutan bekerja, dan
memiliki akses informasi yang memadai atas terjadinya indikasi tindak pidana
tersebut. Mar mulai menyuarakan pelanggaran yang dilakukan PT Gandasari setelah
polisi menyita enam tanki dan kapal Aditya 01 milik AW, bos Gandasari Tetra Mandiri.
"Saya tahu, yang saya lawan ini bukan
pengusaha kecil. Tetapi saya yakin keadilan tidak melihat harta yang dimiliki
seseorang, karena di mata hukum semuanya sama," kata Mar di Rutan Tanjungpinang,
Selasa (16/10) lalu. Perlawanan Mar terhadap AW mulai terjadi 6 Agustus 2012.
Saat itu, AW mengeluarkan surat menolak pembelian solar bersubsidi sebesar
Rp167 juta yang dilakukannya.Sehari kemudian, PT Gandasari Tetra Mandiri yang
diduga tidak memiliki izin penyimpanan, pengangkutan, pembelian dan penjualan
solar itu, melaporkan dirinya ke Polsek Tanjungpinang Timur.Mar pun langsung
ditangkap, dan diperiksa selama sehari sebelum ditahan di Mapolsek
Tanjungpinang Timur. Proses hukum kini mengalir di Pengadilan Negeri
Tanjungpinang, namun sidang belum dijadwalkan.
Bagi Mar, perusahaan itu telah
mengkriminalisasi dirinya, karena uang tersebut berdasarkan perintah AW telah
digunakan untuk membeli solar bersubsidi sebanyak 75 ton. Solar itu pun sudah
digunakan sebagai bahan bakar kapal Calvin 27 dan Aditya 58 untuk mengangkut
alat pengeruk batu bauksit ke Konolodale, Sulawesi Tengah.
Tetapi Mar dipaksa untuk mengaku kepada penyidik bahwa uang sebesar Rp167 juta itu digunakan untuk berfoya-foya. "Setelah mengeluarkan surat penolakan, PT Gandasari membeli solar bersubsidi sebanyak 30 ton," katanya didampingi Herman, pengacaranya.Solar yang dibeli Mar berasal dari agen penyalur solar subsidi, oknum polisi dan oknum TNI. Sebenarnya, kata dia, solar itu untuk kepentingan nelayan, bukan untuk industri.
Tetapi Mar dipaksa untuk mengaku kepada penyidik bahwa uang sebesar Rp167 juta itu digunakan untuk berfoya-foya. "Setelah mengeluarkan surat penolakan, PT Gandasari membeli solar bersubsidi sebanyak 30 ton," katanya didampingi Herman, pengacaranya.Solar yang dibeli Mar berasal dari agen penyalur solar subsidi, oknum polisi dan oknum TNI. Sebenarnya, kata dia, solar itu untuk kepentingan nelayan, bukan untuk industri.
Kasus penggelapan solar bersubsidi itu
mengawali "peperangan" Mar dengan AW. Kesempatan untuk membalas
perbuatan AW berstatus sebagai tersangka setelah polisi mengungkap dan menyita
enam bunker dan kapal Aditya 01 di Sei Enam, Bintan, Kepulauan Riau (Kepri).Mar
mengaku mendapat intimidasi sejak ditahan di Polsek Tanjungpinang Timur. Ia
diminta mengaku menggunakan uang PT Gandasari Tetra Mandiri untuk
foya-foya.
"Uang itu sudah digunakan untuk membeli solar, bukan untuk foya-foya," kata Mar.
Selain itu, kata dia, Mar yang merupakan saksi kunci dalam kasus penyelewengan solar yang diduga dilakukan PT Gandasari Tetra Mandiri diminta untuk tidak memberikan keterangan yang terlalu dalam. Padahal keterangannya telah menyeret sejumlah pihak yang terlibat dalam kasus itu.
"Uang itu sudah digunakan untuk membeli solar, bukan untuk foya-foya," kata Mar.
Selain itu, kata dia, Mar yang merupakan saksi kunci dalam kasus penyelewengan solar yang diduga dilakukan PT Gandasari Tetra Mandiri diminta untuk tidak memberikan keterangan yang terlalu dalam. Padahal keterangannya telah menyeret sejumlah pihak yang terlibat dalam kasus itu.
"Saya merupakan orang kepercayaan AW,
bos PT Gandasari, yang ditugaskan untuk membeli solar dari agen penyaluran
solar subsidi (APMS) di Tanjungpinang dan Kabupaten Bintan," ungkap Mar. Mar
mengatakan, perdagangan solar bersubsidi untuk kepentingan industri bukan hanya
dilakukan oleh antara perusahaan, melainkan juga oknum polisi dan TNI AL. Solar
dari APMS tidak didistribusikan untuk kepentingan nelayan, melainkan
"kencing" di tempat tertentu dan dijual kepada PT Gandasari."Saya
sudah berulang kali diperintahkan oleh AW untuk membeli solar bersubsidi
tersebut," katanya. Sedangkan kuota untuk masing-masing APMS yang bekerja
sama dengan PT Gandasari menggunakan jasa Tr, yang selalu berhubungan dengan
pihak PT Pertamina. "Delivery order" dibuat oleh TR, kemudian diserahkan
kepada PT Pertamina.Penyelewengan solar bersubsidi itu menyebabkan nelayan
tidak dapat melaut lantaran kesulitan mendapatkan solar. "Masing-masing
APMS mendapat jatah rata-rata 5 ton. Tetapi saya tidak tahu apakah ini
melibatkan oknum di Pertamina atau tidak," katanya. Mar menambahkan, PT
Gandasari membeli solar itu dengan harga Rp6.200-Rp6.700/liter. Padahal harga
solar subsidi untuk nelayan Rp4.500/liter, sedangkan solar untuk industri yang
ditetapkan Pertamina sebesar Rp11.500/liter. Nama perusahaan itu hanya
digunakan untuk membeli solar bersubsidi, sedangkan penjualan solar menggunakan
nama perusahaan lainnya yaitu PT Gandasari Shiping Line.
Sumber: