Kamis, 29 Maret 2012

Hak dan Kewajiban Warga Negara Indonesia

TUGAS
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
“PERBEDAAN ANTARA HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA INDONESIA DENGAN WARGA NEGARA TIMOR LESTE”


Nama : Niki Purnamasari
NPM : 14210982
Kelas : 2EA13



Soal :
Menurut pendapat anda bagaimanakah hak dan kewajiban warga negara Indonesia sudah sesuai dengan UU yang ada di Indonesia, bandingkan dengan negara lain ?

Jawab :
Hak dan Kewajiban Warga Negara Indonesia
1. Hak Persamaan Kedudukan dalam Hukum dan Pemerintahan (Pasal 27 ayat 1)
“kesamaan kedudukan warga negara di dalam hukum dan pemerintahan dan kewajiban warga negara dalam menunjang hukum dan pemerintahan tanpa perkecualian”
menurut saya :
• Hak warga negara Indonesia dalam persamaan kedudukan hukum di Indonesia belum semua terpenuhi karena hukum di Indonesia belum adil, penegak hukum di Indonesia masih memandang status ekonomi seseorang dalam menyelesaikan hukum seseorang
• Kewajiban warga negara Indonesia untuk menunjang hukum juga masih belum di jalankan kewajibannya karena warga negara Indonesia masih banyak yang melanggar hukum. Warga negara Indonesia masih belum sadar akan apa yang dilakukannya melanggar hukum atau tidak

2. Hak Kemerdekaan Untuk mengeluarkan Pendapat (Pasal 28)
“ hak warga negara dan penduduk untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran secara lisan maupun tertulis,dan sebagainya”
Menurut saya:
• Di Indonesia hak untuk mengeluarkan pendapat masih belum dipenuhi karena masih banyak kasus-kasus seseorang yang mengeluarkan pendapatnya tetapi dia malah dihukum karena pendapatnya tersebut. Contohnya seperti kasus prita yang mengeluarkan pendapatnya tentang ketidakpuasan pelayanan di salah satu RS di Indonesia

3. Hak Kebebasan Beragama Untuk Memeluk Agama (Pasal 29 ayat 1)
“negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”
Menurut saya:
• Di Indonesia hak untuk memeluk agama belum sesuai dengan Undang-Undang karena contohnya warga negara Indonesia yang memiliki kelompok sendiri-sendiri misalnya agama islam yang mempunyai banyak kelompok yang masih bertentangan dengan pemeluk agama Kristen,contohnya pemboman gereja yang ada di Indonesia
4. Hak dan Kewajiban Pembelaan Negara (Pasal 30)
“hak dan kewajiban setiap warga negara untuk ikut serta dalam usaha pembelaan negara”
Menurut saya:
• Menurut saya warga negara Indonesia sejauh ini sudah menjalankan kewajibannya untuk membela negara Indonesia tetapi masih ada juga warga negara Indonesia yang belum mengerti arti bela negara itu seperti apa

5. Hak Mendapat Pengajaran (Pasal 31)
“tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”
Menurut saya:
• Menurut saya hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan belum terpenuhi. Contohnya saja pemerintah mengeluarkan peraturan wajib belajar 9 tahun,tetapi warga negara Indonesia yang kurang mampu masih ada yang tidak dapat sekolah karena terganjal oleh masalah biaya



6. Kebudayaan Nasional Indonesia (Pasal 32)
• Menurut saya kewajiban warga negara Indonesia untuk menjaga kebudayaannya belum efektif karena masih ada warga Indonesia yang tidak mengetahui bagaimana budayanya harus dilestarikan. Contohnya kebudayaan Indonesia yang diakui sebagai budaya orang lain

7. Kesejahteraan Sosial (Pasal 33)
• Perekonomian di Indonesia masih belum berpihak kepada kesejahteraan semua warga negara Indonesia. Masih saja ada rakyat yang hidupnya dalam keadaan miskin dan masih saja ada yang belum mendapatkan kesejahteraan dan kemakmuran hidupnya.

Perbandingannya Dengan Negara Timor Leste
Hak dan Kewajiban Negara Timor Leste
 Kebebasan Menganut Keyakinan tertentu , Beragama dan Beribadah (Pasal 45)
1. Setiap orang dijamin kebebasan menganut keyakinan tertentu, beragama dan beribadah, serta penataan agama adalah terpisah dari Negara.
2. Tidak seorangpun dapat dijadikan sasaran perlakuan tidak adil atau diskriminasi berdasarkan keyakinan agamaannya.
3. Hak untuk menolak suatu keyakinan tertentu adalah terjamin sesuai dengan undangundang.
4. Dijamin kebebasan untuk melakukan pengajaran dalam lingkungan masing-masing agama manapun.

 Pendidikan dan Kebudayaan(pasal 59)
1. Negara akan mengakui dan menjamin hak setiap warga negara atas pendidikan dan kebudayaan, dan Negara wajib memajukan pembentukan suatu sistem umum pendidikan dasar yang universal dan wajib, dan selama memungkinkan bebas biaya berdasarkan undang-undang.
2. Setiap orang berhak atas persamaan kesempatan pendidikan dan pelatihan kejuruan.
3. Negara akan mengakui dan mengawasi pendidikan swasta dan pendidikan bersama.
4. Negara harus menjamin bagi semua warga negara, sesuai dengan kemampuan, kesempatan masuk atau terlibat dalam tingkat pendidikan tertinggi, penelitian ilmiah dan daya cipta seni.
5. Setiap orang berhak atas nikmat dan daya cipta budaya serta berkewajiban untuk melestarikan, melindungi, dan menghargai warisan budaya.

 Kebebasan Mengeluarkan Pendapat dan Kebebasan Informasi(Pasal 40)
1. Setiap orang memiliki hak atas kebebasan mengeluarkan pendapat serta hak untuk memberikan informasi serta untuk diberitahu informasi secara tidak memihak.
2. Penggunaan hak kebebasan mengeluarkan pendapat dan kebebasan atas informasi tidak dapat dibatasi oleh jenis penyensoran apapun.
3. Penggunaan hak dan kebebasan yang disebut dalam pasal ini akan diatur oleh undang-undang, berdasarkan kewajiban untuk menghormati UUD dan martabat manusia.

 Kebebasan Berkumpul dan Berunjuk Rasa(pasal 42)
1. Setiap orang dijamin kebebasannya untuk berkumpul secara damai dan tanpa senjata, tanpa keperluan untuk memperoleh ijin terlebih dahulu.
2. Semua warga negara berhak melakukan unjuk rasa, sesuai dengan undang-undang.

 Kebebasan Berserikat(pasal 43)
1. Hak setiap orang untuk berserikat adalah terjamin, asal perserikatan tersebut tidak bermaksud untuk memajukan kekerasan dan adalah sesuai dengan undang-undang.
2. Tidak seorangpun dapat dipaksa untuk menjadi anggota dari suatu perserikatan atau untuk tetap menjadi anggota bila ini bertentangan dengan kemauannya.
3. Pendirian perserikatan yang bersenjata, militer atau bersifat kemiliteran, termasuk organisasi yang bersifat rasis atau benci kepada orang-orang atau hal-hal asing, atau yang memajukan terorisme, adalah dilarang.
















Daftar Pustaka
1. http://www.google.co.id/search?q=hak+kewajiban+warga+negara+indonesia
2. http://www.google.co.id/search?q=hak+kewajiban+warga+negara+timor+leste

Selasa, 27 Maret 2012

Tugas kelompok "contoh hak dan kewajiban mendapat pengajaran"



PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
“HAK MENDAPAT PENGAJARAN BESERTA PASAL YANG TERKAIT”


NAMA KELOMPOK :
1.     Ahmad Budi                 (10210357)
2.     Anissa Maryati             (10210874)
3.     Fitri Yuningsih             (19210259)
4.     Gugun Gunadi             (19210493)
5.     Hartaty Robiasih                   (13210165)
6.     Ineu Maelani                 (13210547)
7.     Niki Purnamasari                  (14210982)
8.     Raisa Fidayati              (15210596)
9.     Yurisa Dewi                  (19210493)

2EA13
UNIVERSITAS GUNADARMA



BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
            Masalah kurangnya kualitas pendidikan kita di Indonesia bukanlah hal yang  baru, kita sudah sering melihat di media elektronik maupun media surat kabar bahkan kita sudah melihat secara langsung fenomena yang terjadi disekitar kita, dimana banyak masyarakat indonesia  yang tidak bisa melanjutkan sekolah karena alasan biaya.
UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mewajibkan setiap warga negara berusia tujuh tahun mengikuti pendidikan dasar. Namun pelaksana UU ini belum bisa memberi kompensasi atas pewajiban itu. Pemerintah kita pernah mencanangkan pendidikan 9 tahun, dimana setiap anak Indonesia minimal harus tamat Bangku SMP. Hal ini merupakan satu hal yang positif mengingat besarnya arti pendidikan untuk kedepannya.
untuk memperbaiki dunia pendidikan yang ada, pemerintah juga mempunya niat baik yakni, dengan menganggarkan 20% dari dana APBN seperti yang telah tercantum dalam pasal 49 UUD 45.
Tapi sayang niat baik tidak pernah tercapai, seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden Yudhoyono dimana pada tahun 2005 anggaran untuk pendidikan 8,1%, 10,3 persen pada APBN 2006, 10,6 persen APBN 2007, dan 10,9 khusus untuk anggaran pendidikan untuk tahun 2008 ini, malah terjadi hal yang sangat mengecewakan dimana wakil2 rakyat yang ada DPR dalam sidang nya memutuskan untuk memotong anggaran pendidikan sebesar 10%, dengan alasan pemerintah sedang mengencangkan ikat pinggang. Faktor ekonomi menjadi penyebab utama anak tidak melanjutkan sekolah. Beban biaya masuk SMP yang tidak terjangkau kantong keluarga miskin menjadi salah satu sebab mereka memilih tidak sekolah. Faktor malas menjadi penyebab kedua. ''Kemalasan'' anak disebabkan oleh sulitnya akses sekolah, terutama di berbagai pedesaan pegunungan. Kemalasan juga dipengaruhi faktor lingkungan, orang tua, dan sulitnya sarana transportasi. 
 Dalam hal tidak sesuai dengan Undang-Undang 1945 pasal 31 yang menyatakan tentang Hak mendapat pengajaran. Untuk itu inilah yang melatar belakangi kami dalam membahas permasalahan ini.
 1.2  Identifikasi Masalah
1.      Apa fungsi pranata pendidikan?
2.      Apa yang menyebabkan kurangnya pendidikan di Indonesia?
3.      Apa saja Pasal yang mengenai pendidikan?
4.      Bagaimana hubungan pasal tersebut dengan masih kurangnya pendidikan di Indonesia?
5.      Bagaimana Solusi dalam menghadapi masalah tersebut?
BAB.II
PEMBAHASAN
2.1         Fungsi Pranata Pendidikan
 Pendidikan adalah suatu proses yg terjadi krn interaksi berbagai faktor, yg menghasilkan penyadaran diri dan lingkungan shg menampilkan rasa percaya diri dan rasa percaya akan lingkungannya :
 Tiga Ruang Lingkup Pendidikan :
a. Pendidikan dalam keluarga (informal)
b. Pendidikan di sekolah (formal)
c.Pendidikan dalam masyarakat (nonformal)
 Fungsi Pranata Pendidikan :
1. Fungsi konservasi (pengawetan)
2. Fungsi evaluatif (penilaian)
3. Fungsi kreatif
Fungsi Tersembunyi Pranata Pendidikan :
1. Menunda masa kedewasaan anak
2. Menjadi saluran bagi mobilitas sosial
3. Memelihara integrasi masyarakat
Fungsi Nyata Pendidikan :
1. Menolong orang untuk sanggup mencari nafkah bagi kehidupannya kelak
2.Meningkatkan citra rasa kehidupan
3.Meningkatkan taraf kesehatan dgn olahraga
2.2         Penyebab kurangnya pendidikan di Indonesia
1.         Cara berfikir
Bagi orang-orang yang mampu, pendidikan adalah hal yang mudah, karena mereka mempunyai dana untuk sekolah. Tapi bagaimana dengan rakyat yang tidak mampu? Kesalahannya, mereka berfikir, bahwa Ilmu dan pendidikan hanya bisa didapatkan dengan sekolah. Padahal tidak, ilmu bisa didapatkan dengan membaca, bertanya, dan menyimpulkan hasil dari suatu pengalaman.
2.         Kurangnya dukungan
Hampir 80% orang yang tidak mampu dan tidak mau sekolah karena pesimis.  Karena kurang dukungan dari orang tua
3.          Kurangnya kesadaran akan pentingnya ilmu.
 ilmu itu bukan sekedar rumus, hafalan Ilmu itu kunci untuk hidup. Semua itu butuh ilmu. kalau kita tidak tau caranya makan, kita akan mati. kalau kita tidak tau caranya berjalan. Yang kita bayangkan, untuk mendapatkan ilmu itu kita harus serius, konsentrasi. Padahal tidak, kalau kalian bilang begitu, selama ini kalian belajar karena terpaksa. Ilmu itu didapatkan karena ada kemauan, kemuan adanya rasa ingin tahu. Dan ingat, gagal atau kalah itu bukan akhir dari segalanya.
4.         Karena kuranngnya biaya
Sekarang ini biaya untuk pendidikan itu tidak murah walaupun pemerintah telah melaksanakan program bebas untuk biaya sekolah. Tetapi ada saja yang harus kita keluar kan untuk biaya pendidikan
2.3  Pasal- pasal mengenai pendidikan
1.      Pasal 31 ayat 1,2,3,4,5, berbunyi :
Ayat 1 : Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan
Ayat 2 : Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya
Ayat 3 : Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional,yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa ,yang diatur dengan undang-undang
Ayat 4 : Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang – kurangnya 20 % dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan nasional
Ayat 5 : Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai – nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradapan kesejahteraan umat manusia
2.      Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang undang ini selain memuat pembaharuan visi dan misi pendidikan nasional, juga terdiri dari 77 Pasal yang mengatur tentang ketentuan umum(istilah-istilah terkait dalam dunia pendidikan),

2.4         Hubungan pasal tersebut dengan masih kurangnya pendidikan di Indonesia
Sesuai dengan pasal 31 ayat 1 yaitu  : Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. pasal tersebut menunjukan adanya jaminan dari pemerintah bahwa setiap warga Negara republik Indonesia berhak mendapatkan pengajaran. Namun pada kenyataannya, di Negara kita masih banyak warga yang kurang mendapat pendidikan yang layak seperti yang kita ketahui, banyaknya anak jalanan di negeri Indonesia ini yang harusnya mereka sekolah namun mereka harus bekerja selain itu terdapatnya pendidikan yang kurang layak seperti kasus  puluhan ribu sekolah dasar tidak layak untuk kegiatan belajar. Hal tersebut disebabkan karena kurangnya fasilitas atau sarana kegiatan belajar mengajar yang kurang memadai. Untuk itu pemerintah belum 100 % merealisasikan pasal tersebut.
2.5         Solusi dalam menghadapi masalah kurangnya pendidikan di Indonesia
Pertama, kurikulum pendidikan kita kurang menekankan pentingnya studi yang dalam dan berkelanjutan mengenai wawasan nusantara. Hal ini bisa dilihat dari kurangnya jam mata pelajaran/kuliah mengenai Kewarganegaraan (PPKn). Dari waktu penuh jam pelajaran/kuliah selama seminggu, pelajaran/kuliah tersebut hanya mendapat sorotan sekitar 2-2,5 jam. Hal ini akan berdampak pada kurangnya rasa nasionalisme para siswa/mahasiswa.
Kurangnya rasa kecintaan pada tanah air tersebut juga akan berdampak lebih jauh lagi pada saat para siswa/mahasiswa sudah selesai dalam menempuh pendidikan dan sudah waktunya dalam memilih pekerjaan. Orientasi utama pada saat itu kemungkinan besar hanya berorientasi pada segi material, yang jelas tidak meguntungkan bagi Indonesia sendiri dan bukannya berorientasi berbuat dan berkontribusi semampunya untuk Indonesia.
Kedua, kurikulum pendidikan yang kurang menekankan pentingnya studi yang juga dalam serta berkelanjutan mengenai Agama. Tak jauh berbeda dengan permasalahan pertama dimana dari waktu penuh jam pelajaran/kuliah selama seminggu, pelajaran/kuliah mengenai Agama masih sangat kurang. Apalagi di tingkat Perguruan Tinggi dimana mata kuliah Agama hanya mendapat sorotan sebesar 2 SKS dari sekitar 140-an SKS.
Padahal pendalaman materi mengenai agama sangat penting melihat posisi agama merupakan pembentuk terbaik serta utama bagi kepribadian dan moral seseorang. Jelas orang yang memiliki pengetahuan agama yang tinggi kehidupannya juga akan diselimuti dengan selimut keagamaan yang tinggi. Dengan kata lain, pendidikan kita disorot dari segi moral, akidah, serta akhlak masih sangat kurang.
Ketiga, kurikulum pendidikan/pelaku pendidikan dari segi pengajaran kita yang kurang mengarahkan para siswa/mahasiswa untuk nantinya setelah selesai sekolah/kuliah menciptakan sesuatu. Jadi disini, kurangnya hal tersebut akan membentuk kepribadian konsumtif dari para siswa/mahasiswa dan bukannya kepribadian yang produktif serta mampu bersaing di masa yang akan datang.

Hal ini juga sangat penting untuk disoroti melihat pengaruh globalisasi nantinya yang akan mempengaruhi langsung para pelaku pendidikan saat ini. Hal ini jelas terasa akibat buruknya, terutama bagi bangsa ini. Contoh bisa kita ambil, dari berbagai kebijakan yang diambil pemerintah mengenai pengolahan serta pemenuhan kebutuhan hidup rakyatnya sehari-hari.
Indonesia, negeri yang dikaruniai Tuhan dengan keberagaman serta keberlimpahan sumber daya alam serta manusianya, seharusnya mampu untuk mengoptimalkan SDA dan SDM tersebut jika melihat kuantitas dan kualitas sarjana kita yang bisa dibilang sangat cukup.
Tapi apa daya, sistem pendidikan yang tidak mengarah kepada ke-3 usulan tadi, membentuk kepribadian yang konsumtif bagi para siswa/mahasiswa yang pada akhirnya lebih memilih untuk meng-impor berbagai kebutuhan mendasar dari luar negeri.
Hal ini merupakan hal yang konyol, dan Indonesia bisa dikatakan sebagai negeri yang mubadzir, dan juga bukannya tidak mungkin jika nantinya Tuhan akan mengambil kembali SDA yang kita miliki sebagai bentuk 'kekesalan' karena kebodohan diri kita sendiri.
Jadi sistem pendidikan yang berdasarkan pada wawasan kebangsaan dan wawasan keagamaan yang mendalam, serta pengarahan kepada pelaku pendidikan untuk men-cipta dan bukannya mem-beli dirasa merupakan sistem pendidikan dasar yang ideal bagi bangsa yang telah rapuh dan berdiri tidak lagi dengan kaki sendiri ini. Semoga perubahan besar ke arah yang lebih baik bisa terjadi.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

2.3         3.1Kesimpulan

   Pendidikan adalah suatu proses yg terjadi krn interaksi berbagai faktor, yg menghasilkan penyadaran diri dan lingkungan sehingga menampilkan rasa percaya diri dan rasa percaya akan lingkungannya. Di Indonesia
Masalah kurangnya kualitas pendidikan bukanlah hal yang  baru, kita sudah sering melihat di media elektronik maupun media surat kabar bahkan kita sudah melihat secara langsung fenomena yang terjadi disekitar kita, dimana banyak masyarakat indonesia  yang tidak bisa melanjutkan sekolah karena alasan biaya. Selain itu kurangnya pendidikan diindonesia Karena kurangnya cara berfikir,kurangnya dukungan dan kurangnya  kesadaran akan pentingnya ilmu

2.4         Saran

Sesuai dengan pasal 31 ayat 1 salah satunya yang berbunyi   : Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. pasal tersebut menunjukan adanya jaminan dari pemerintah bahwa setiap warga Negara republik Indonesia berhak mendapatkan pengajaran. Namun pada kenyataannya, di Negara kita masih banyak warga yang kurang mendapat pendidikan. oleh Karena itu pentingnya peran pemerintah dalam memperbaiki dunia pendidikan di negeri ini dan kesadaran dari masyarakat mengenai pentingnya pendidikan.
Daftar Pustaka








TUGAS KELOMPOK KEWARGANEGARAAN TENTANG KASUS KEBEBASAN BERPENDAPAT

TUGAS MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
KASUS KEBEBASAN BERPENDAPAT DI INDONESIA SEHUBUNGAN
DENGAN PASAL 27 AYAT 3 UUD 1945 DAN
UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2008




Anggota Kelompok  4            :
1.      Niki Purnama Sari                   (14210982)
2.      Ninda Utami Ridanti             (15210000)
3.      Nur Anastatia                          (15210115)
4.      Ovia Dharma                           (15210292)
5.      Rahma Nuzuli Kartika N        (15210555)
6.      Raisa Fidayanti                       (15210596)
7.      Ria Indriati                              (15210848)
8.      Rini Pratiwi                             (19210529)
9.      Riri Syukriati                           (18210980)
10.  Sendy Oktaviani Putri                        (16210444)

  Kelas                         :                       2EA13

UNIVERSITAS GUNADARMA
2012 - 2013



 
Agus Hamonangan Moderator Forum Pembaca Kompas di Periksa Polisi
Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya menunda pemeriksaan terhadap moderator mailing list (milis) Forum Pembaca Kompas Agus Hamonangan soal artikel "Hoyak Tabuik Adaro dan Soekanto" karya jurnalis Narliswandi Piliang.
Agus meminta waktu mencari pengacara yang akan mendampinginya selama pemeriksaan oleh Satuan Cyber Crime Direktorat Reserse Kriminal Khusus.  
Penyidik Polda Metro Jaya semula memanggil Agus Hamonangan untuk dimintai keterangan. Ia akan diperiksa sebagai saksi kasus pencemaran nama baik dan penistaan yang dilaporkan oleh politikus Partai Amanat Nasional Alvin Lie. Alvin menilai Narliswandi mencemarkan namanya dengan menulis artikel itu. "Saya agak kaget, ini pertama kali moderator milis dipanggil polisi," ucap Agus
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai materi pemuatan dalam suatu mailing list (milis) forum diskusi tidak dimasukan ke dalam jalur hukum.
Pernyataan itu terkait kasus pemeriksaan moderator milis Forum Pembaca Kompas (FPK), Agus Hamonangan sebagai saksi perkara pencemaran nama baik di Markas Kepolisian Daerah Metro Jaya.
Yayasan LBH Indonesia (YLBHI) selaku pendamping hukum Agus Hamonangan menyatakan, penyidik mengajukan 12 pertanyaan kepada Agus Hamonangan di antaranya adalah prosedur pendaftaran anggota milis, prosedur posting email, dan tanggung jawab moderator terhadap posting email.
Agus diperiksa sebagi saksi terkait pemuatan tulisan berjudul Hoyak Tabuik Adaro dan Soekanto, karya Narliswandi Piliang, atau yang dikenal dengan nama Iwan Piliang. Pelapor kasus tersebut adalah Anggota DPR Fraksi Partai Amanat Nasional Alvin Lie.
Artikel tersebut awalnya ditulis di Tajuk Rakyat dan tersebar di milis. Dalam artikel itu diceritakan tentang kedatangan Alvin Lie ke PT Adaro untuk menemui Teddy Rahmat. Alvin Lie mengajukan permintaan uang Rp 6 miliar sebagai kompensasi penggagalan hak angket PT Adaro di DPR. Setelah terjadi tawar-menawar kemudian disepakati Rp1 miliar untuk Alvin Lie.
Apabila Alvin Lie berkeberatan terhadap tulisan yang dimuat maka tindakan selanjutnya yang harus dilakukan adalah menjadi anggota milis atau menghubungi moderator untuk memuat jawaban darinya, kata Direktur Publikasi dan pendidikan publik YLBHI, Agustinus Edy Kristianto dalam keterangan resminya, (Kamis 4/9/2008).
Seperti dikatakan Agustinus, saksi Agus Hamonangan mengatakan, dalam pendaftaran anggota milis FPK hanya dibutuhkan alamat email saja. Semua bebas mengemukakan pendapat asal tidak berbau suku, agama, ras, antargolongan (SARA). Moderator tidak mengubah isi dari tulisan dan tidak bertanggungjawab terhadap tulisan. Apabila ada yang berkeberatan akan sebuah opini maka biasanya akan ada opini lain yang menjawab dalam milis diskusi FPK. Alvin Lie, tidak memberikan pernyataan untuk menjawab diskusi dalam FKK.
Agus Hamonangan diperiksa oleh penyidik Polda Metro Jaya Sat. IV Cyber Crime yakni Sudirman AP dan Agus Ristiani. Merujuk pada laporan Alvin Lie, ketentuan hukum yang dilaporkan adalah dugaan perbuatan pidana pencemaran nama baik dan fitnah seperti tercantum dalam Pasal 310, 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), serta dugaan perbuatan mendistribusikan/mentransmisikan informasi elektonik yang memuat materi penghinaan seperti tertuang dalam Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Kemajuan teknologi memasuki abad informasi, ada upaya kita untuk tidak bisa memisahkan batasan- batasan yang berlaku sesuai kaidah hukum, seolah-olah menulis blog, melakukan aktivitas jurnalisme warga (citizien journalism), menjadi moderator, dan aktivitas di jejaring internet lainnya tidak bisa dihukum.
Dan fenomena ini muncul dalam kehidupan kita, ketika tuduhan terhadap seseorang melakukan korupsi di salah satu situs Web dimasukkan ke mailing list Forum Pembaca Kompas menyebabkan moderator forum dipanggil sebagai saksi oleh kepolisian untuk diperiksa. Persoalan muncul ketika terjadi pertanyaan apakah moderator mailing list tidak bertanggung jawab atas materi isi yang dibahas di forum tersebut dan bebas nilai?
Pipa dua arah
ini menjadi ujian penting untuk Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)yang mengatur Ini persoalan rumit, melibatkan banyak aspek memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi informasi yang menghadirkan fenomena baru dan tanpa preseden sama sekali. Di sisi lain, persoalan keseluruhan hidup dan aktivitas kita di jejaring internet.
Persoalan ini penting untuk mengukur apakah demokrasi yang kita jalankan di jejaring internet adalah bebas nilai yang semaunya mencemarkan nama baik, menuduh seseorang, atau memfitnah atas nama kebebasan berpendapat, berekspresi, dan mengemukakan kebenaran?
Setelah tergulingnya Orde Baru, demokrasi dan kemajuan teknologi komunikasi informasi adalah satu persoalan dalam dua sisi sebuah koin. Sisi pertama, demokrasi dan reformasi yang menggebu-gebu memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi informasi, serta menghadirkan empat presiden yang berbeda-beda, ternyata tidak mampu mengusir kezaliman dan kejahatan diri kita semua dalam cara berpikir dan korupsi.

Artinya, campuran demokrasi dan kemajuan teknologi komunikasi informasi ternyata tidak mengubah apa-apa secara fundamental dalam kehidupan kita bernegara, berbangsa, dan berinformasi. Kita memang berhasil dalam menikmati kebebasan berpendapat seenaknya, lebih enak dari negara-negara Barat sebagai kampiun kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Sisi kedua, teknologi komunikasi informasi tercampur demokrasi-reformasi, menghasilkan apa yang disebut sebagai jurnalisme warga, yang secara definisi dirumuskan sebagai memainkan peranan aktif dalam proses pengumpulan, pelaporan, analisa, serta diseminiasi berita dan informasi.
Artinya, dalam era demokrasi-reformasi berbasis informasi sekarang ini semua warga di negara kepulauan Nusantara ini adalah konsumen, semua orang adalah distributor, semua warga menjadi agregator, dan semua orang adalah produser. Menurut CEO Reuters Tom Glocer, dari kantor berita Inggris ternama dan disegani di dunia, kita hidup dalam era pipa dua arah. Glocer menajamkan pengertiannya bahwa semua orang memiliki potensi sebagai mitra dan sekaligus sebagai kompetitor.

Bunyi Pasal 27 ayat 3

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Sanksi pelanggaran pasal disebutkan pada Pasal 45 ayat 1 adalah :

Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Dasar–dasar diajukannya permohonan pengujian ini adalah karena Pasal 27 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28 C ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 E ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 F, dan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945.

Pasal 27 ayat (3) UU ITE menurut para pemohon telah bertentangan dengan prinsip–prinsip negara hukum yang menginginkan setiap pembentukan UU dijelaskan secara jelas, dapat dimengerti, dan dapat dilaksanakan secara adil. Selain itu Pasal 27 ayat (3) bertentangan dengan asas legalitas, prediktibilitas, dan transparansi.


Pasal 27 ayat (3) bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat, dimana rakyat berhak memilih para penyelenggara negara melalui pemilu. Untuk itu rakyat berhak untuk menerima, mengolah, membuat, mengirimkan, dan menyebarluaskan informasi latar belakang dari para calon penyelenggara negara. Informasi tersebut, akan sangat mudah berbelok menjadi tindak pidana penghinaan, sehingga membuat para pemohon tidak lagi dapat secara bebas untuk menerima, mengolah, membuat, mengirimkan, dan menyebarluaskan informasi latar belakang dari para calon penyelenggara negara yang akibatnya para pemohon kehilangan kesempatan untuk menentukan pilihannya secara tepat, bijak, dan rasional.

Pasal 27 ayat (3) telah melanggar asas lex certa dan kepastian hukum karena pasal 27 ayat (3) tidak dimuat dalam rumusan delik sejelas-jelasnya dan perumusan ketentuan pidana yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum.

Selain itu rumusan pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) mempunyai efek jangka panjang yang menakutkan karena, jika ancaman pidana lebih dari 5 tahun dapat secara efektif menghambat hak para pemohon untuk menduduki jabatan – jabatan publik dan menjadi bagian dari profesi hukum.

Untuk itu Para Pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal 27 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik agar ketentuan tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi

Pada pokoknya dalam permohonan tersebut para pemohon mendalilkan bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE telah mengabaikan prinsip-prinsip negara hukum, melanggar prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, melanggar prinsip lex certa dan kepastian hukum, Pasal 27 ayat (3) UU ITE mempunyai potensi disalahgunakan, melanggar kemerdekaan berekspresi, berpendapat, menyebarkan informasi, dan Pasal 27 ayat (3) mempunyai efek jangka panjang yang menakutkan.

Keseluruhan dalil Para Pemohon tersebut sangat relevan mengingat bahwa masalah reputasi sesungguhnya telah diatur secara rinci dan rigid dalam KUHP, sehingga pengaturan delik reputasi yang sama sekali baru tentu harus dipertanyakan motif dari para perumus UU tersebut. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Aliansi Nasional Reformasi Hukum Telematika Indonesia juga menunjukkan dengan baik bahwa di negara-negara hukum modern seperti Belanda, Singapura, dan Australia sekalipun tidak memiliki delik reputasi yang secara khusus diatur dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP.
Di dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE terdapat 2 unsur, yaitu
1)      unsur obyektif dan
2)       unsur subyektif.
Unsur-unsur obyektif di dalam pasal tersebut adalah:
1. Perbuatan:
·         Mendistribusikan
·         Mentransmisikan
·         Membuat dapat diaksesnya.
2. Melawan hukum, yaitu yang dimaksud dengan “tanpa hak”
3. Obyeknya adalah informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memuat penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Unsur subyektif adalah berupa kesalahan, yaitu yang dimaksud dengan “dengan sengaja”. Ketiga perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan, dan membuat dapat diaksesnya suatu informasi dan/atau dokumen elektronik tidak dapat diketemukan penjelasannya di dalam UU ITE tersebut baik dari sisi yuridis maupun sisi IT. Kalau kita lihat konteks pengundangan ini, maka sebenarnya Pasal 27 ayat 3 UU ITE ini merupakan lex specialis dari KUHP karena merupakan pengkhususan dari penghinaan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) di ranah internet.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mengetahui bahwa Pasal 27 ayat 3 UU ITE dapat dipakai dalam kasus penghinaan di dalam ranah internet sedangkan tidak ada penjelasan tersendiri terhadap pasal ini.
Permasalahan ini sempat menjadi polemik dikemudian hari setelah pengundangan UU ITE. Kasus pertama dari UU ITE ini adalah kasus pencemaran nama baik oleh seorang jurnalis bernama Narliswandi Piliang atau biasa disebut dengan Iwan Piliang kepada Alvien Lie seorang anggota DPR melalui milis Forum Pembaca Kompas. Berdasarkan laporan Alvien Lie kepada polisi tersebut pada tanggal 25 November 2008 Iwan Piliang menggugat pasal tersebut kepada Mahkamah Konstitusi (MK) yang didukung oleh Masyarakat Telematika (MASTEL) dan Asosisasi Pengusaha Warnet dan Komunitas Telematika (Apwkomitel).


Adapun bunyi putusan terhadap gugatan dari Iwan Piliang adalah sebagai berikut:
·         Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak selaku pemohon;
·         Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara a quo;
·         Norma Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah konstitusional dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum;
·         Dalil-dalil para Pemohon tidak tepat dan tidak beralasan hukum.

 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia:
Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.3
Adapun bunyi putusan oleh legal standing kedua dari pers adalah sebagai berikut:
Materi muatan ayat dan pasal undang-undangan yang dimohonkan pengujiannya sama dengan materi, muatan, ayat, atau pasal undang-undang yang telah diperiksa, diadili, dan diputus dalam perkara Nomor 50/PUU-VI/2008 yang amarnya berbunyi “Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya”, oleh karenanya permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima.
 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.4
Salah satu pertimbangan dari majelis hakim MK saat itu adalah bahwa sebenarnya Pasal 27 ayat 3 UU ITE tidak mengatur kaidah hukum baru, melainkan hanya mempertegas penghinaan di dalam KUHP dengan tambahan ranah internet. Dengan demikian, kesimpulan yang dapat ditarik dari polemik terhadap Pasal 27 ayat 3 UU ITE pada awal pengundangannya adalah bahwa unsur-unsur Pasal 27 ayat 3 UU ITE haruslah mengacu kepada unsur-unsur penghinaan/pencemaran nama baik pada KUHP dengan tambahan sarana internet sebagai medianya.
Pasal 27 ayat 3 UU ITE mensyaratkan bahwa yang dapat dikenai pidana adalah seseorang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. 


Pengabaian Fakta Hukum

Putusan MK No 50/PUU-VI/2008 jo Putusan MK No 2/PUU-VII/2009 terkait dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE secara jelas telah mengabaikan fakta – fakta yang terungkap di persidangan sebagai berikut :


(1) Ketidakjelasan kategorisasi delik

Pasal 27 ayat (3) UU ITE jelas tidak menjelaskan apakah delik ini masuk dalam kategori Delik Aduan atau masuk dalam kategori Delik Biasa. Jika merujuk pada pendapat Ahli Pemerintah, Dr. Mudzakkir, SH, MH, dalam sidang pleno pada 19 Maret 2009 yang pada pokoknya menerangkan bahwa kategorisasi delik reputasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE sangat tergantung pada delik reputasi dalam KUHP yang di-insert kedalamnya.
Dengan kata lain apabila delik reputasi dalam KUHP yang di-insert adalah delik biasa maka kategorisasi delik pada Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah delik biasa namun jika delik reputasi dalam KUHP yang di-insert adalah delik aduan maka kategorisasi delik pada Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah delik aduan. Dalam pertimbangannya, MK langsung menyatakan bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE masuk dalam kategori delik aduan, tanpa ada penjelasan teoritis bagaimana MK menemukan bahwa Pasal 27 ayat (3) masuk dalam kategori delik aduan

(2) Delik reputasi dalam KUHP masih mampu menjangkau ranah internet
(3) Tidak ada negara hukum modern yang memiliki delik reputasi yang diatur secara khusus untuk penggunaan di ranah internet
(4) Kekaburan Definisi
 Selain itu pengertian akses sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 15 UU ITE jelas berlawanan dengan pengertian akses dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, dimana akses menurut Pasal 1 angka 15 dilakukan terhadap sistem elektronik dan bukan terhadap informasi dan/atau dokumen elektonik.
Terlihat jelas, bahwa Putusan No 50/PUU-VI/2008 jo Putusan No 2/PUU-VII/2009 telah mengabaikan beragam fakta hukum yang tampil di persidangan sebagaimana telah penulis sebutkan diatas




Bukan Konstitusional Bersyarat

Salah satu yang dapat dianggap kemenangan kecil adalah masuknya Pasal 27 ayat (3) UU ITE kedalam delik aduan, namun yang harus catatan penting dan harus dicermati dengan baik adalah pernyataan bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE hanya ada dalam pertimbangan hukum MK dan bukan masuk kedalam amar putusan atau dalam kesimpulan dari Putusan MK tersebut. Sehingga dalam pandangan penulis, sangat mungkin terjadi apabila aparat penegak hukum malah mengabaikan pertimbangan hukum dari MK tersebut dan mengikuti pandangan dari Dr. Mudzakkir, SH, MH, Ahli pemerintah, yang menyatakan bahwa kategorisasi delik reputasi dalam Pasal 27 ayat (3) mengikuti jenis delik reputasi dalam KUHP yang akan didakwakan.
Selain itu penulis menemukan fakta yang menarik tentang bagaimana MK memberikan definisi yang berbeda tentang “dengan sengaja” dan “tanpa hak” pada Putusan No 50/PUU-VI/2008 dan Putusan No 2/PUU-VII/2009. Dalam Putusan No 50/PUU-VI/2008, MK menyatakan (garis tebal oleh penulis):

“Bahwa unsur dengan sengaja dan tanpa hak merupakan satu kesatuan yang dalam tataran penerapan hukum harus dapat dibuktikan oleh penegak hukum. Unsur “dengan sengaja” dan “tanpa hak” berarti pelaku “menghendaki” dan “mengetahui” secara sadar bahwa tindakannya dilakukan tanpa hak. Dengan kata lain, pelaku secara sadar menghendaki dan mengetahui bahwa perbuatan “mendistribusikan” dan/atau “mentransmisikan” dan/atau “membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” adalah memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Adapun unsur tanpa hak merupakan unsur melawan hukum. Pencantuman unsur tanpa hak dimaksudkan untuk mencegah orang melakukan perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”

Sementara dalam Putusan Perkara No 2/PUU-VII/2009, MK malah menyatakan (garis tebal oleh penulis):

“Bahwa unsur sengaja berarti pelaku menghendaki dan mengetahui perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan mengetahui bahwa informasi dan/atau dokumentasi elektronik tersebut memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, sedangkan unsur tanpa hak merupakan unsur melawan hukum. Unsur tanpa hak dimaksudkan untuk menghindarkan orang yang melakukan perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan mengetahui bahwa informasi dan/atau dokumen elektronik tersebut memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik berdasarkan hukum dapat dipidana.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2008
TENTANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
Menimbang :

 a. bahwa pembangunan nasional adalah suatu proses yang berkelanjutan yang harus
senantiasa tanggap terhadap berbagai dinamika yang terjadi di masyarakat;

b. bahwa globalisasi informasi telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari
masyarakat informasi dunia sehingga mengharuskan dibentuknya pengaturan mengenai
pengelolaan Informasi dan Transaksi Elektronik di tingkat nasional sehingga
pembangunan Teknologi Informasi dapat dilakukan secara optimal, merata, dan menyebar
ke seluruh lapisan masyarakat guna mencerdaskan kehidupan bangsa;

c. bahwa perkembangan dan kemajuan Teknologi Informasi yang demikian pesat telah
menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang
secara langsung telah memengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru;

d. bahwa penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi harus terus dikembangkan
untuk menjaga, memelihara, dan memperkukuh persatuan dan kesatuan nasional
berdasarkan Peraturan Perundang-undangan demi kepentingan nasional;

e. bahwa pemanfaatan Teknologi Informasi berperan penting dalam perdagangan dan
pertumbuhan perekonomian nasional untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat;

f. bahwa pemerintah perlu mendukung pengembangan Teknologi Informasi melalui
infrastruktur hukum dan pengaturannya sehingga pemanfaatan Teknologi Informasi
dilakukan secara aman untuk mencegah penyalahgunaannya dengan memperhatikan
nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia;

g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c,
huruf d, huruf e, dan huruf f, perlu membentuk Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;